welcome to my home

I want all of you to feel just like home whenever you enter my page, so enjoy your 'feels like home' in here and free to drop comments

MENYERAH

Jan 19, 2007


Hampir tiap orang pernah mengalaminya… merasakan perihnya membakar di kulit, asinnya menyentuh lidah seperti derasnya air hujan, sakitnya memikul berton-ton beban di ulu hati.

“Aku dihempaskan… menjalin benang kusut… terpaku lalu MATI!”

Menyerah… mendengar kata itu disebutkan saja sudah membuat dahi mengernyit. Memperlihatkan usia yang termakan dalam perjuangan… peluh yang dikeluarkan, hingga tangis yang dikemas!

Siapa yang tidak suka kata ini? Hayoo… Yak! Bapak yang mengaku pengusaha dengan tas jinjing laptop besar di sudut sana… ada sekelompok orang-orang pemasaran… wartawan dan petinggi-petingginya yang haus berita ngga peduli hujan badai, kekeringan, perang atau apalah… para bos besar yang balapan dengan perutnya beserta bawahan-bawahannya (yang mungkin dikejar-kejar tuntutan korupsi)… TOP DOWN, hingga pengamen jalanan (yang kekeuh minta recehan – kalau bisa di atas seribu!) dan para penjaja ‘kenikmatan’ demi sesuap harapan kehidupan…

Ugh, aku sendiri tidak mau MENYERAH… meski berulang kali terhimpit, pasrah, menggeliat, berdarah… I manage to come back ON!

Malam ini aku kembali bergulat dengan Ralf, mencari kehangatan di antara selimut dan bantal bau-ku… ku tegaskan kuat-kuat di denyut syaraf abu-abu bahwa aku belum MENYERAH dan tidak akan pernah! Yes, I do cry all nite and sleep less than what feels like a blitz-hour… until NOW!

Jujur saja… apa kita pernah mengenal ‘sakit’ yang namanya MENYERAH ini? Dia bahkan didiagnosa lebih mematikan daripada AIDS, SARS atau flu burung…

Menyerah menghentikan petani meladang karena terik dan hama. Menyerah mematahkan pesakit tuk berjuang hidup. Menyerah mengenyahkan perundingan kesekian peperangan berakhir damai. Menyerah mengakhiri harapan untuk perubahan dan tatanan dunia masa depan yang lebih baik.

Menyerah adalah meletakkan nyawa untuk disantap oleh burung nazar.

Malam ini (lagi-lagi tak bisa tidur… dengan mata sembab) kembali ku mengantongi kepingan kenangan hidupku yang tercecer… “Aku belum menyerah!” gumamku lirih dalam gelap diiringi ‘senandung’ Laruku.

Sesaat ini, inginnya ku perlahan saja menghirup udara kehidupan di tanah-datar-gersang yang perlahan tengah dibangun seseorang… hhmm… sensasi Davidoff yang kurindukan…

I am a dreamer, aren’t we all? Thus, I’d never give up… especially not on you… my dreams!

Menyerah adalah angka mati! Menyerah bukan pilihan!

Pilihlah hidup karena hidup adalah pilihan, my writing may sound a bit lofty tapi mungkin nantinya akan lebih banyak yang berikan anggukan jika terungkap… teruntai-kata… “Banyak jalan menuju Inggris ;)” ups, maksudnya… “All are possible,” 143.


NB:
Jangan menyerah dulu ya…
Hapus saja kata itu dari kamus-mu!
Jangan menyerah dulu ya…
Di luar sana dunia belantara siap ditaklukkan!
Jangan menyerah dulu ya…
Banyak yang membutuhkannya… ya… KAMU!
Jangan menyerah dulu ya…
Ku tunggu kamu dengan hadiah termanis dari surga!

1 comments:

Anonymous said...

Berbagi peran dalam satu kesatuan waktu tak selamanya mudah, ternyata. Mungkin kegagalan berakting di satu panggung dengan bersalin-salin peran adalah apa yang terjadi denganku. Dan di depanku akhirnya hanya pilihan-pilihan yang apokaliptik.....Aku ingat seseorang yang terus bertanya: bahasa Dewa dari mana tuh? Apokaliptik, yah...kurang lebih hitam-putih...

Rasanya mau roboh dengan keharusan bersumpah, berjanji, berikrar, entah apalagi...dan demi 4JJ taruhannya terlalu berat...my sunshine...my kid...Ketika dia menangis, di tangan mbak belakang rumah yang kami titipkan dia malam-malam, sementara kami berdebat habis-habisan, rasanya ada yang berteriak di ulu hatiku...ini semua. Kami ambil dia lewat tengah malam, dan dia diantara sadar dan tidurnya bertanya:"kenapa bapak, ibu..." Berat rasanya mulutku menjawab....

Seseorang memarahiku di Starbucks, aku marah padanya karena "janjinya" kuanggap kosong dan dia marah sekali tidak mendapat kepercayaanku hari itu. Sejak itu aku berjanji tak akan membuatnya marah lagi. Benar, aku laksanakan itu dengan teguh. Ini pun begitu. Aku nggak mau lagi anakku bertanya: kenapa bapak, kenapa ibu.....

Aku korbankan dia? Tidak. Aku simpan dia di tempat yang aku bangun dengan hati-hati. Di tempat yang akan membuatnya tumbuh, dengan semangat yang kutiupkan dari tanah yang datar dan sepi. Aku ingin dia kuat, aku tak ingin dia MATI....aku ingin dia berhasil. Aku tak habis menyalahkan diri jika dia teruas bersedih....apalagi membuat rumahnya menangis. Bukan. Bukan itu yang aku harapkan....

Mungkin aku tak pandai menata kata-kata...Dan benar, aku memang sudah tak punya apa-apa untuk bisa diraihnya, dijadikan tempatnya berpijak, tapi spiritku ada bersamanya...itu akan berkembang, seperti rumpun bambu yang terus tumbuh...dari sanalah dia akan teduh, menaunginya, membuatnya mengingatku yang ikut menanam semua ini.....143.

Post a Comment