welcome to my home

I want all of you to feel just like home whenever you enter my page, so enjoy your 'feels like home' in here and free to drop comments

Nov 7, 2004

Republika : Rabu, 01 September 2004

Orang Beragama atau Orang Baik?
Seorang lelaki berniat untuk menghabiskan seluruh
waktunya untuk beribadah. Seorang nenek yang merasa iba
melihat kehidupannya membantunya dengan membuatkan sebuah
pondok kecil dan memberinya makan, sehingga lelaki itu
dapat beribadah dengan tenang.
Setelah berjalan selama 20 tahun, si nenek ingin
melihat kemajuan yang telah dicapai lelaki itu. Ia
memutuskan untuk mengujinya dengan seorang wanita cantik.
''Masuklah ke dalam pondok,'' katanya kepada wanita itu,
''Peluklah ia dan katakan 'Apa yang akan kita lakukan
sekarang'?''
Maka wanita itu pun masuk ke dalam pondok dan
melakukan apa yang disarankan oleh si nenek. Lelaki itu
menjadi sangat marah karena tindakan yang tak sopan itu.
Ia mengambil sapu dan mengusir wanita itu keluar dari
pondoknya.
Ketika wanita itu kembali dan melaporkan apa yang
terjadi, si nenek menjadi marah. ''Percuma saya memberi
makan orang itu selama 20 tahun,'' serunya. ''Ia tidak
menunjukkan bahwa ia memahami kebutuhanmu, tidak bersedia
untuk membantumu ke luar dari kesalahanmu. Ia tidak perlu
menyerah pada nafsu, namun sekurang-kurangnya setelah
sekian lama beribadah seharusnya ia memiliki rasa kasih
pada sesama.''
Apa yang menarik dari cerita diatas? Ternyata ada
kesenjangan yang cukup besar antara taat beribadah dengan
memiliki budi pekerti yang luhur. Taat beragama ternyata
sama sekali tak menjamin perilaku seseorang.
Ada banyak contoh yang dapat kita kemukakan
disini. Anda pasti sudah sering mendengar cerita mengenai
guru mengaji yang suka memperkosa muridnya. Seorang kawan
yang rajin shalat lima waktu baru-baru ini di PHK dari
kantornya karena memalsukan dokumen. Seorang kawan yang
berjilbab rapih ternyata suka berselingkuh. Kawan yang
lain sangat rajin ikut pengajian tapi tak henti-hentinya
menyakiti orang lain. Adapula kawan yang berkali-kali
menunaikan haji dan umrah tetapi terus melakukan korupsi
dikantornya.
Lantas dimana letak kesalahannya? Saya kira
persoalan utamanya
adalah pada kesalahan cara berpikir. Banyak orang yang
memahami agama dalam pengertian ritual dan fiqih belaka.
Dalam konsep mereka, beragama berarti melakukan shalat,
puasa, zakat, haji dan melagukan (bukannya membaca)
Alquran. Padahal esensi beragama bukan disitu. Esensi
beragama justru pada budi pekerti yang mulia.
Kedua, agama sering dipahami sebagai serangkaian
peraturan dan larangan. Dengan demikian makna agama telah
tereduksi sedemikian rupa menjadi kewajiban dan bukan
kebutuhan. Agama diajarkan dengan pendekatan hukum
(outside-in), bukannya dengan pendekatan kebutuhan dan
komitmen (inside-out). Ini menjauhkan agama dari makna
sebenarnya yaitu sebagai sebuah sebuah cara hidup (way of
life), apalagi cara berpikir (way of thinking).
Agama seharusnya dipahami sebagai sebuah kebutuhan
tertinggi
manusia. Kita tidak beribadah karena surga dan neraka
tetapi karena kita lapar secara rohani. Kita beribadah
karena kita menginginkan kesejukan dan kenikmatan batin
yang tiada taranya. Kita beribadah karena rindu untuk
menyelami jiwa sejati kita dan merasakan kehadiran Tuhan
dalam keseharian kita. Kita berbuat baik bukan karena
takut tapi karena kita tak ingin melukai diri kita sendiri
dengan perbuatan yang jahat.
Ada sebuah pengalaman menarik ketika saya
bersekolah di London dulu. Kali ini berkaitan dengan
polisi. Berbeda dengan di Indonesia, bertemu dengan polisi
disana akan membuat perasaan kita aman dan tenteram.
Bahkan masyarakat Inggris memanggil polisi dengan
panggilan kesayangan: Bobby.
Suatu ketika dompet saya yang berisi surat-surat
penting dan sejumlah uang hilang. Kemungkinan tertinggal
di dalam taksi. Ini tentu membuat saya agak panik, apalagi
hal itu terjadi pada hari-hari pertama saya tinggal di
London. Tapi setelah memblokir kartu kredit dan
sebagainya, sayapun perlahan-lahan melupakan kejadian
tersebut. Yang menarik, beberapa hari kemudian, keluarga
saya di Jakarta menerima surat dari kepolisian London yang
menyatakan bahwa saya dapat mengambil dompet tersebut di
kantor kepolisian setempat.
Ketika datang kesana, saya dilayani dengan ramah.
Polisi memberikan dompet yang ternyata isinya masih
lengkap. Ia juga memberikan kuitansi resmi berisi biaya
yang harus saya bayar sekitar 2,5 pound. Saking
gembiranya, saya memberikan selembar uang 5 pound sambil
mengatakan, ''Ambil saja kembalinya.'' Anehnya, si polisi
hanya tersenyum dan memberikan uang kembalinya kepada saya
seraya mengatakan bahwa itu bukan haknya. Sebelum saya
pergi, ia bahkan meminta saya untuk mengecek dompet itu
baik-baik seraya mengatakan bahwa kalau ada barang yang
hilang ia bersedia membantu saya untuk menemukannya.
Hakekat keberagamaan sebetulnya adalah berbudi
luhur. Karena itu orang yang ''beragama'' seharusnya juga
menjadi orang yang baik. Itu semua ditunjukkan dengan
integritas dan kejujuran yang tinggi serta kemauan untuk
menolong dan melayani sesama manusia.
Kepemimpinan
Oleh: Arvan Pradiansyah, direktur pengelola Institute for
Leadership & Life Management (ILM) & penulis buku Life is
Beautiful

===========================================================================================
"Dapatkan hadiah utama sebuah sepeda motor, dengan mengikuti
Netkuis Ramadhan TELKOM Jakarta di http://netkuis1.plasa.com/jakarta/ramadhan"
===========================================================================================

0 comments:

Post a Comment